Membangun Padang Gurun
Be ready. Fight for the best, ready for the worst. (Selalu siap. Berjuang untuk yang terbaik, siap dengan yang terburuk). Itulah prinsip yang selalu saya coba ambil dalam menjalani kehidupan ini. Dengan begitu, saya berharap tidak mengalami hal-hal yang mengagetkan dalam kehidupan, berusaha untuk berhitung setiap resiko (terburuk) yang mungkin ada. Semoga.
Firman Tuhan di Minggu Paskah VII ini 1Pet 4:12-14, 5:6-11 berbicara tentang penderitaan dan kekuatiran. Murid-murid Yesus saat dipanggil dan diteguhkan, dibekali dengan hal itu dan dimotivasi: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat 5:11). Mereka dipilih-Nya untuk mengambil bagian dalam perjuangan perubahan umat Israel pada saat itu.
Kemauan mengambil bagian dalam penderitaan orang lain adalah bukti kesungguhan untuk melayani dan mengabdi pada Kristus (band. Kis 14:22; Rm 8:17-18; 1Pet 1:6-9). Pengalaman mengambil bagian dalam perjuangan sering menimbulkan penderitaan, tetapi itu akan memperkaya diri kita secara rohani. Perjuangan membuat kita hidup, dan bukan sekedar hidup adalah perjuangan. Kita harus bisa membangun sebuah ladang perjuangan. Sebagaimana umat Israel menempuh padang gurun, kita pun perlu membangun padang gurun kita sendiri. Menanti dan menjadi penonton, jelas tidak menyenangkan hati Tuhan. Kita dapat melihat kebodohan, kemalasan dan kemiskinan, misalnya di Toba, sebagai sumber segala kejahatan dan keburukan (band. Ef 6:12), dan itu adalah tugas peperangan atau padang gurun bagi kita Gaja Toba. Allah memanggil dan meneguhkan kita masuk dalam perjuangan itu. Perlu kita sadari bahwa panggilan itu otoritas Allah, namun respon, intensitas dan kualitas pelayanan kita sesungguhnya adalah dari kerelaan dan kesiapan yang bukan karena paksaan.
Bagian kedua bacaan kita minggu ini menekankan agar jangan kuatir dan takut. Ketakutan dan kekuatiran manusiawi. Ketakutan merupakan bagian dari tidak tahunya kita akan apa yang terjadi di depan. Puncak ketakutan manusia mungkin adalah kematian dan proses kematian yang menyakitkan. Tetapi, sepanjang kita memahami bahwa kematian adalah pintu untuk kemuliaan, dan proses kematian yang menyakitkan adalah jalan khusus untuk menuju pintu kemuliaan itu, maka semua tidak perlu ditakutkan lagi.
Kewaspadaan adalah sikap hidup. Itu berangkat dari kesadaran akan hakekat diri sendiri dan adanya ancaman yang menanti. Orang yang tidak peduli dengan dirinya akan mudah jatuh, baik secara fisik maupun secara rohani. Tubuh yang tidak sehat dan sigap akan mudah terjatuh dalam setiap gerakan, demikian pula jiwa dan roh yang tidak kuat akan mudah tergoda oleh si jahat (band. Mzm 22:14; Yeh 22:25).
Allah itu nyata. Allah kita hidup dan bukan Allah yang diam berpangku tangan, bukan Allah yang sudah mati sesuai pandangan Nietzsche. Allah sebagai Roh Hidup merupakan sumber segala sesuatu. Maka, dalam nas ini dinyatakan Allah sebagai sumber kasih karunia. Jadi dalam hal ini, kita yang dipanggil dalam kemuliaan-Nya yang kekal akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan. Artinya, ketika kita menderita sesaat, Allah akan memberikan dukungan kuat dari awal hingga kita menerima kemuliaan itu kelak dari-Nya. Maka, beranilah berkata: siapa takut? Selamat hari Minggu dan beribadah, Tuhan memberkati, Amin.
Pdt (Em) Ramles Silalahi, Ketua Umum PGTS. Kabar dari Bukit adalah refleksi Pengurus PGTS kepada anggota yang dipadu renungan firman Tuhan.