Melawan Dosa
Dosa tetap dosa kalau itu sudah terjadi dan bila tidak dibereskan akan menjadi Boss dalam kehidupan kita – meski kita tidak suka. Bisa terjadi kegamangan dalam diri, seperti Rasul Paulus yang merasa memiliki pribadi ganda: satu yang asli dengan keinginan baik dan batin yang tenang; dan ada pribadi lain pribadi palsu yang ingin mengendalikan hidupnya.
Firman Tuhan hari Minggu ini Rm 7:15-25a berbicara tentang perjuangan melawan dosa. Rasul Paulus seolah melayangkan jeritan hatinya yang putus asa, yang berjuang melawan dosa dengan berusaha menyenangkan hati Allah melalui ketaatan pada aturan-aturan legalistik. Betul, hukum Taurat itu baik dan bersifat kudus, memperlihatkan keinginan Allah agar manusia kudus, gambaran rupa Allah.
Tetapi dosa dan kuasanya telah mengelabui dengan memutar balikkan aturan yang ada. Di Taman Eden, ular menipu Hawa dengan menantang kebebasannya. Hawa digoda iblis penipu licik dan berhasil. Oleh karena itu Rasul Paulus berbagi tiga hal dalam perjuangan melawan dosa: Pertama, kesadarannya bahwa pengetahuan akan hukum dan aturan bukanlah sebuah jaminan akan ketaatan. Misal saja, saat ini banyak hakim, polisi, jaksa, pengacara, akhirnya tersangka dan dihukum. Rasul Paulus mengatakan, ia merasa lebih nyaman apabila ia tidak mengerti apa yang diinginkan oleh hukum. Ia tahu hukum Taurat itu baik tapi ia sendiri tidak mampu melaksanakannya. Tetapi sebaliknya, ketika ia belajar tentang kebenaran, anugerah, ia tahu bahwa dirinya sudah diselamatkan.
Kedua, keyakinan diri yakni perjuangan dengan kekuatan diri sendiri pasti tidak berhasil. Rasul Paulus menemukan dirinya berdosa dengan jalan yang sebenarnya tidak menarik hatinya, bahkan membenci tindakan-tindakannya yang bertentangan dengan hukum itu (ayat 15). Ketiga, manusia lahiriah kita terus dihadapkan dengan manusia batiniah yang dilengkapi oleh akal budi, sebagai wujud hukum Allah. Tubuh dan kedagingan kita menjadi ajang pertempuran. Apabila kita merasa takluk dalam pertentangan itu, maka jawabannya hanya kembali kepada dasar kehidupan kerohanian kita, yakni penyesalan dan keyakinan dosa-dosa kita telah dibebaskan melalui hukum kasih karunia (band. 2Kor 4:16). Ini yang membebaskan rasa bersalah itu.
Kita tidak bisa mengkambing-hitamkan Adam atau dosa asal atau dosa warisan. Ada satu titik dalam hidup, ketika kita sadar akan keinginan berdosa dari diri kita sendiri. Pada saat itu, kita harus menolak natur dosa dan bertobat. Sebaliknya, apabila kita “menyetujui” natur berdosa, mengikuti dan menikmati keberdosaan tersebut, maka kita sebenarnya menyatakan sepakat dengan perbuatan Adam dan Hawa di Taman Eden.
Rasul Paulus kemudian merendah, menyebutnya manusia celaka (ayat 24) – dan itu juga yang baik kita lakukan, yakni mengatakan tidak ada sesuatu yang baik di dalam dirinya. Ia mengulangi penegasan bahwa itu merupakan pergumulan yang hebat baginya. Ia merasa dirinya tidak berhasil melakukan yang terbaik bagi Tuhan yang memberinya begitu banyak. Justru ia merasa terlalu sedikit melakukan hal baik yang membuat batinnya bergejolak tidak puas. Bila pun ada hal baik yang ia lakukan, itu sikap rasa syukur atas apa yang diperolehnya dari Tuhan, sehingga itu tidak layak dibanggakan. Sementara itu, ia merasa terlalu banyak melakukan hal yang jahat dan itu semua disadarinya, semua oleh kuasa dosa di dalam dirinya.
Perjuangan melawan dosa berlangsung terus menerus. Utamanya, daripada mencoba melawan dosa dengan kemampuan diri sendiri, lebih baik kita berpegang pada kuasa yang luar biasa dari Kristus yang tersedia bagi kita. Kuasa pemeliharaan Allah untuk menjamin kemenangan, yakni dengan Roh Kudus. Ketika kita jatuh, kasih-Nya akan menggapai untuk menolong kita bangkit kembali. Syukur kepadaNya. Terpujilah Dia. Selamat hari Minggu dan beribadah, Tuhan memberkati, Amin.
Pdt (Em) Ramles M. Silalahi, Ketua Umum PGTS. Kabar dari Bukit adalah refleksi Pengurus PGTS kepada anggota yang dipadu renungan firman Tuhan.