Suara Hati
“Pake hati nurani kek, biar bener gitu loh”…. Demikianlah sering kita dengar ungkapan seseorang yang menafsirkan seolah-olah dengan memakai hati nurani, maka akan benar.
Firman Tuhan hari Minggu ini dari Rm 9:1-5 berbicara tentang suara hati dan Allah yang harus dipuji selama-lamanya. Hati nurani (Yun: suneidesis dan Ing: conscience) di dalam Alkitab bahasa Indonesia dipakai berbagai istilah termasuk “suara hati” (band. Kej 20:6). Kata nurani berakar dari bahasa Arab (nur= cahaya) sehingga hati nurani seolah-olah selalu diterangi cahaya.
Hati nurani dapat diartikan sebagai alat untuk membedakan antara: yang secara moral baik dan buruk; yang mendorong untuk melakukan hal baik dan menghindari yang buruk; memuji yang satu dan mencela yang lain. Dalam pengertian sederhana: kesadaran akan sesuatu dan diyakini benar. Jadi hati nurani merupakan buah proses justifikasi atau penghakiman oleh diri sendiri terhadap kebenaran atau kebaikan sesuatu, berupa standar atau sensitifitas moral atau resistensi (keberatan) terhadap sesuatu.
Hati nurani sendiri tidak secara otomatis sama dengan kehendak Allah, sebab manusia dengan standar moral yang dimilikinya, cenderung memutuskan hal yang baik atau jahat sesuai dengan kepentingan dirinya dan pemahaman serta kedekatannya dengan Allah. Kalau standar moralnya salah, maka keputusan yang diambil pasti juga salah, meski bisa pengaruh sesaat. Situasi ini sama dengan yang dikatakan oleh Amsal Salomo, “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (Ams 14:12; 16:25).
Hati nurani dalam nas minggu ini dikaitkan dengan kepedulian terhadap orang lain. Pertanyaannya: sejauh mana kita peduli dengan keselamatan orang lain? Sejauh mana kita terbeban bagi yang belum mengenal dan merasakan kasih Kristus? Sejauh mana kita peduli terhadap kesejahteraan saudara-saudara kita dalam satu lingkungan, satu daerah, satu bangsa, agar mereka diselamatkan dan sejahtera? Sejauh mana kita juga bersedia berkorban waktu, tenaga, pikiran, kesenangan, pundi-pundi, bahkan keamanan diri, demi untuk keselamatan saudara-saudara kita tersebut? Rasul Paulus bergumul peduli terhadap bangsanya (Israel) sehingga ia terpanggil. Allah telah memilih bangsa Israel sebagai imam, pemimpin dan teladan, sebagai anak yang istimewa, dan mestinya melayani bangsa-bangsa lain. Dan mereka gagal. Tetapi sebagai pribadi lepas pribadi, Allah tetap mengasihi, sehingga dalam ayat 6b dikatakan: “Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel.”
Kita dipilih dengan maksud tertentu untuk menjadi imam, pemimpin, teladan dan melayani bagi sekeliling kita. Sebagaimana Rasul Paulus, baiklah ini menjadi pergumulan kita terhadap sesama saudara, dan secara khusus bagi saudara se-kampung halaman. Kegagalan Israel sebagai alat untuk membuat Allah dipuji sampai selama-lamanya, janganlah kita ulangi. Dengan memakai suara hati yang benar, yang dipimpin Roh Kudus, kita harus bisa menjadi imam, pemimpin, teladan, dan melayani khususnya bagi saudara-saudara kita. Maka, melalui kehidupan kita, semua orang akan melihat: Yesus Mesias adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Haleluya. Selamat hari Minggu dan beribadah, Tuhan memberkati, Amin.
Pdt (Em) Ramles Silalahi, Ketua Umum PGTS (Kabar dari Bukit adalah refleksi Pengurus PGTS kepada anggota yang dipadu renungan firman Tuhan.)