Jangan Menghakimi
Sambil berondok kita mendekati sesajian di Tepekong itu. Air liur sudah menetes kencang melihat seonggok babi besar kemerahan yang sudah siap santap. Begitu mereka selesai ritualnya, kita pun nyerbu, makan… Eh, memang enak. Demikianlah masa kanak-kanak saya yang tinggal dekat Tepekong. Kadang kalau ketahuan, kita diusir. Tetapi namanya anak-anak, ya kita tetap saja mengulanginya.
Firman Tuhan hari Minggu ini Rm 14:1-12 berbicara tentang Jangan Menghakimi. Beberapa hal tentang menghakimi disebutkan, terkait makan daging dan darah, apalagi daging bekas persembahan pagan; juga soal merayakan hari-hari kebesaran pagan yang dijadikan hari kebesaran Kristiani. Ada jemaat yang melarang tidak boleh, berpegang pada aturan legalistik PL. Tetapi sebagaimana dalam renungan minggu lalu, KASIH adalah kegenapan hukum taurat. Rasul Paulus mengatakan: boleh, silahkan, sepanjang dengan rasa syukur, dan tidak perlu sok pamer itu halal (Ayat 6; 1Kor. 8 dan 10). Yang penting, ada keyakinan iman, tidak terombang-ambing, yang dapat menjadi dosa (band. Yak 1:6-8).
Justru poin yang lebih penting disampaikan dalam nas minggu ini adalah kita tidak hidup untuk diri sendiri. Saat mati pun, kita bukan untuk diri sendiri. Dengan kita hidup ditebus dan diselamatkan, maka kita milik Tuhan sebagai Penebus. Ketika kita mati, maka Tuhan pun sebagai pemilik, akan meminta pertanggungjawaban (ayat 9 dan 12).
Rasul Paulus menasihatkan kepada yang lemah dan kuat dalam iman, tentang perbedaan budaya dan kebiasaan, melihat tidak memakan makanan tertentu itu lebih kepada pilihan, bukan persoalan moral. Namun, pandangan dan sikap dalam soal makanan bisa menjadi masalah moral, ketika mereka menghakimi orang lain dengan tidak bijak dan benar. Pun, menghakimi sangat mengganggu kesatuan jemaat dan damai sejahtera yang menjadi inti kehidupan orang Kristen. Setiap orang tidak dipanggil untuk menjadi hakim bagi orang lain. Prinsip orang percaya dalam bersekutu dan berjemaat haruslah: dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dalam segala hal, KASIH. Yang utama, berpegang pada prinsip, Allah berkuasa atas diri kita semua.
Rasul Paulus tidak hidup di dalam kehidupan menara gading. Ia menerapkan teologi ke dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Surat Roma yang begitu indah dan dalam, justru ditulis dengan maksud untuk mengumpulkan dana bagi korban kelaparan dan kekerasan yang terjadi di Yerusalem (Rm 15:25-27). Inilah wujud hidup bukan untuk diri kita sendiri. Berbagi. Kasih. Segala “kelebihan” yang kita miliki diperuntukkan untuk menutup “kekurangan” orang lain (band. 2Kor 8:13-15).
Ketika kita berdiri di hadapan Yesus dalam pengadilan akhir zaman, kita juga tidak diperlukan mengurusi yang dilakukan orang lain, semuanya hanya tentang diri kita sendiri (2Kor 5:10). Kita tidak perlu mencari kemenangan atas pendapat dan keunggulan rohani untuk dipuji, sebab mengutamakan menang dan kalah dalam kehidupan persekutuan, tidak sesuai dengan sifat kasih. Ini justru memperlihatkan iman yang lemah. Allah berkuasa dan siap sedia membimbing semua anak-anak-Nya. Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup. “Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu?” Selamat beribadah hari Minggu, Tuhan memberkati, Amin.
Pdt. Em. Ramles M. Silalahi, Ketua Umum PGTS.